Indonesia merupakan negara kepulauan terluas di dunia. Luas area perairannya mencapai 6,32 juta km2 atau sekitar 62% dari total luas wilayah. Sabang di ujung barat dan Merauke di ujung timur dipisahkan oleh jarak sepanjang 5.245 km. Laut menjadi penghubung antara satu daratan dengan daratan lainnya yang tersemai di kepulauan nusantara. Keakraban dengan lautan luas telah dimulai sejak ribuan tahun yang lain, paling tidak ketika nenek moyang penutur Austronesia mulai mendiami pulau-pulau di nusantara. Mereka berasal dari Taiwan dan mulai bermigrasi ke selatan pada 5.000 tahun yang lalu.
Memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan kepulauan, teknologi perkapalan semakin dikembangkan untuk dapat mengarungi lautan yang lebih luas dan jarak antar pulau yang lebih jauh. Hal ini terbukti dari kajian linguistik terhadap sejarah bahasa Austronesia. Setelah berpindah ke kepulauan Filipina dan Indonesia utara, muncul tambahan kosakata baru terkait dengan teknologi pelayaran yang semakin kompleks. Jejak maritim ini juga masih dapat dilihat melalui berbagai gambar cadas motif perahu yang tersebar di berbagai gua di kepulauan nusantara. Pada tahun 2009, telah tercatat sebanyak 18 situs yang memiliki lukisan seni cadas motif perahu, dengan lokasi mulai dari semenanjung Melayu, kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, sampai dengan Papua.
Dengan memanfaatkan teknologi perkapalan ini, masyarakat nusantara masa lalu telah menjalin pertukaran barang dan hubungan budaya baik kembali ke utara sampai dengan Jepang, ke timur sampai dengan Polinesia, ke selatan sampai dengan Selandia Baru, dan ke Barat sampai India, dan bahkan Afrika. Melalui relasi laut inilah, budaya Hindu-Buddha mulai masuk dan berkembang di wilayah nusantara sejak abad IV-X Masehi, yang kemudian menjadi latar bagi pendirian Candi Borobudur di pulau Jawa.
Candi Borobudur dibangun oleh Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa pada sekitar abad VIII-X Masehi. Candi ini mempunyai 2.672 panil relief yang dapat dikategorikan sebagai relief dekoratif dan naratif. Relief naratif dapat dibagi menjadi cerita Karmawibhangga, Jataka-Avadana, Lalitavishtara, dan Gandavyuha yang bersumber dari tradisi Asia Selatan dan diadopsi sesuai kebutuhan setempat di Jawa. Kekayaan relief ini didukung oleh penggambaran kehidupan pedesaan pada periode Jawa kuno yang dimungkinkan karena pemahatnya berasal dari masyarakat lokal.
Walaupun terletak jauh dari laut dan lokasinya dikelilingi oleh beberapa gunung, Candi Borobudur menjadi salah satu dari sedikit ikonografi di Asia Tenggara yang dapat memberikan gambaran mengenai teknologi maritim dan bentuk kapal di masa lampau.Ikonografi dari relief Borobudur pun telah dibuktikan sebagai gambaran nyata terkait budaya kepulauan pada sekitar abad VIII-IX Masehi melalui rekonstruksi kapal Samudraraksa.
Rekonstruksi tersebut dibuat pada tahun 2003 dan berdasarkan replika kapal sesuai dengan relief di Borobudur. Kapal Samudraraksa berhasil mengaruhi Samudera Hindia sampai dengan Pulau Madagaskar, memutari selatan benua Afrika sampai berlabuh di tujuan akhir di Accra, Ghana. Asumsi bahwa relief candi merupakan gambaran kehidupan di masa lalu menjadikan Borobudur menjadi sumber informasi terbesar tentang liku budaya kepulauan pada masa Jawa kuno.
Relasi yang dijalin oleh pelaut nusantara dengan masyarakat di daerah budaya yang berbeda sering disebut dalam berbagai nama. Sebutan jalur rempah, jalur sutra laut, dan jalur kayu manis adalah beberapa diantaranya. Rempah menjadi nama yang lebih dikenal saat ini karena kepopulerannya mampu membuat para pelaut Eropa mendatangi wilayah nusantara pada abad XVI M. Sementara itu, kajian arkeobotani telah memberikan gambaran tentang awal mula dan perkembangan relasi laut ini. Beberapa tanaman asli Asia Tenggara yang ditemukan di daratan seberang samudera teridentifikasi berasal dari sekitar 3.300–2.500 tahun yang lalu.
Jejak-jejak kehadiran tanaman pinang (Areca), mangga, kayu gaharu dan jeruk nipis ditemukan di situs Sanganakallu di India selatan. Khusus untuk kayu gaharu, tanaman tersebut hanya tumbuh di Jawa Timur dan Nusa Tenggara. Situs lainnya yang memberikan bukti perpindahan tanaman masa lampau dari Asia Tenggara adalah situs Pattanam yang juga berada di India selatan. Biji mangga, jeruk nipis, dan pinang ditemukan di lokasi situs yang berupa dermaga.
Pisang sebagai tanaman yang pertama kali dibudidayakan di Asia Tenggara pernah ditemukan di situs Kor Diji, Pakistan serta di sebuah penelitian arkeologis di Kamerun. Di tempat lain di Afrika, taro dan uwi juga pernah ditemukan. Selain itu, terdapat juga banyak bukti terkait kolonisasi pulau Madagaskar oleh penduduk dari Asia Tenggara yang kemungkinan besar berasal dari pulau Kalimantan. Dalam perkembangannya, relasi yang dibangun oleh pelaut nusantara kemudian terintegrasi dengan jalur perdagangan maritim yang terbentang mulai dari Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah, bahkan sampai dengan Eropa Mediterania.
Pameran ini berusaha menghadirkan relief Kapal Borobudur dalam konteks budaya dan historisnya. Sesuai dengan konsep yang telah disuguhkan oleh Tanudirjo (2015), budaya kepulauan (archipelagic culture) merupakan istilah yang tepat untuk merangkai peradaban kelautan dan jaringannya di daratan. Kapal-kapal laut saja tidak cukup untuk membangun peradaban laut yang jaya, namun dibutuhkan juga sinergi antara laut dan darat sebagai sebuah kesatuan ekosistem.
Selain itu, ilustrasi teknologi kapal di Borobudur juga tidak dipandang sebagai budaya material yang telah hilang, namun lebih sebagai bagian dari interaksi sosial-budaya masyarakat nusantara yang tetap bergerak dengan dinamis sampai dengan sekarang. Oleh karena itu, penggambaran mengenai budaya kepulauan Indonesia dalam pameran ini dihadirkan melalui ikonografi Borobudur, sejarah, dan etnografi maritim. Dari relief, kita melihat masa lalu, dengan sejarah dan etnografi, kita merajut masa lalu dengan masa kini. Selamat bereksplorasi!
Berangkat dari Indonesia pada Agustus 2003 sampai dengan di tujuan akhir Ghana pada Februari 2004, berhasil berlayar lebih dari 20 ribu km, melewati Seychelles, Madagascar, dan Cape Town di Afrika Selatan. Dari tujuan-tujuan tersebut, Madagaskar paling mempunyai kemiripan budaya dan alam dengan nusantara, terutama dari segi bahasa, asal usul manusianya, serta keragaman floranya.
Anom, IGN (ed). The Restoration of Borobudur. Paris: UNESCO Publishing, 2005.
Clark, Marshall, dan Juliet Pietsch. Indonesia-Malaysia Relations: Cultural heritage, politics and labour migration. Oxon dan New York: Routledge, 2014.
Cense, AA, dan HJ Heeren. Pelayaran dan Pengaruh Kebudayaan Makassar Bugis di Pantai Utara Australia , terj. AB Lapian. Yogyakarta: Penerbit Ombak bekerja sama dengan KITLV-Jakarta, 2019.
Fauziah, Titut Yulistyarini, Dewi Ayu Lestari, Esti Endah Ariyanti, Destario Metusala, Janis Damaiyani, Patmiati, dan Matrani. Buku Panduan Wisata Edukasi Relief Flora Candi Borobudur. Purwodadi: Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi LIPI bekerjasama dengan Pusat Penelitian Biologi LIPI dan Balai Konservasi Borobudur, 2018.
Fuller, Dorian Q., Nicole Boivin, Tom Hoogervorst, dan Robin Allaby. “Across the Indian Ocean: the prehistoric movement of plant and animals.” Antiquity 85, (2011): 544–58.
Horridge, Adrian. Perahu Layar Tradisional Nusantara, terj. Septian Dhaniat Rahman. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015.
Kasiyati, Wiwit, Muhammad Taufik, Ni Wayan Herawathi, Suparno, dan Suparjiono. Jenis Tanaman Pangan pada Relief Candi Borobudur. Magelang: Balai Studi dan Konservasi Borobudur, 2000. Laporan studi, tidak dipublikasikan.
Mochtar, Agni Sesaria. The Seventh-Century Punjulharjo Boat from Indonesia: A study of the early Southeast Asian lashed-lug boatbuilding tradition. Australia: Flinders University, 2018. Tesis, tidak dipublikasikan.
Oktaviana, Adhi Agus. Penggambaran Motif Perahu pada Seni Cadas di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia, 2009. Skripsi, tidak dipublikasikan.
Rahman, Supandriyono, Dahroni, dan Subagjo. Jenis Mata Pencaharian pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, 1994. Laporan studi, tidak dipublikasikan.
Reichle, Natasha. “Unfinished Business: Clues about Artistic Praxis from the Hidden Foot of Borobudur.” Artibus Asiae 69, no. 2 (2009): 335–56.
Tanudirjo, Daud Aris. “Pengantar - Etnografi Teknologi Perahu Adrian Horridge: Bentuk Rekam Jejak Peradaban Kepulauan Nusantara.” Dalam Adrian Horridge, Perahu Layar Tradisional Nusantara, terj. Septian Dhaniat Rahman, hlm. xvii-xxviii. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015.
Tanudirjo, Daud Aris. “Penjelahan Pelaut Austronesia Pada Masa Prasejarah.” Varuna, Jurnal Arkeologi Bawah Air 5, (2001): 34–40.